SURABAYA – Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim), yang dikelola PT Panca Wira Usaha (PWU), telah dijaminkan ke PT Waskita Karya selaku kontraktor. Hal itu lantaran PT TGU tak sanggup membayar tagihan senilai hampir Rp 200 Miliar kepada Waskita.
Proyek kondominium-hotel (kondotel) The Frontage di Jalan Ahmad Yani, Surabaya ini, menurut kastemer, dijanjikan oleh PT TGU selesai sekaligus beroperasi pada tahun 2018. Namun, sejak tahun 2016, proyek pembangunan gedung mewah di atas lahan milik daerah ini justru mandeg. Proyeksi pendapatan daerah yang sedianya sudah terencana dan disepakati, malah gagal terwujud.
Terkait hal ini, pakar hukum Universitas Surabaya (Ubaya) Sudiman Sidabukke mengatakan, untuk menemukan kerugian negara atau daerah, harus diketahui terlebih dahulu apakah ada sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Daerah (APBD) yang digunakan untuk suatu keperluan.
Dalam kasus The Frontage ini, Sudiman menilai harus diusut potensi kerugian daerah i yang digunakan untuk mewujudkan proyek itu. Soalnya, sebagai tanah milik daerah, untuk dimanfaatkan proyek komersial bermitra dengan PT TGU, mesti memerlukan persetujuan DPRD. Persetujuan dari Dewan ini harus dituangkan dan diterbitkan beserta rincian anggarannya dalam lembaran peraturan daerah (DPRD).
“Kalau benar demikian, maka kejaksaan perlu memelototi ini,” cetus Sudiman, Kamis (21/3).
Senada dengan Sudiman, praktisi hukum kerap menangani permasalahan properti, Sumarso, menyatakan terkait lahan daerah yang telah dikerjasamakan dengan dengan pihak swasta PT TGU, dan proyeknya kini mangkrak. Kerjasama yang macet ini berpotensi mengurangi proyeksi pendapatan daerah (PAD).
Terpisah, Direktur Utama PT Panca Wira Usaha (PWU) Erlangga Satriagung mengungkapkan, kerjasama antara perusahaan daerah yang dipimpinnya dengan PT Trikarya Graha Utama (TGU) sebagai pengembang proyek The Frontage telah dituangkan dalam Perjanjian Pemanfaatan Lahan. Kerjasama ini menggunakan skema build, operate, transfer (BOT), atau bangun-guna-serah (BGS).
BGS sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. BGS merupakan barang milik daerah berbentuk lahan yang dimanfaatkan oleh pihak lain (bisa swasta), untuk dibangun gedung, sarana dan/atau fasilitas di atasnya.
Lalu, bangunan itu dioperasikan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu sesuai perjanjian. Setelah masa operasionalnya kedaluwarsa, bangunan tersebut oleh pihak lain diserahkan sepenuhnya ke daerah.
“Kerjasama kami dengan PT TGU menggunakan prinsip BOT,” papar Erlangga.
Menurut Ketua Umum KONI Jatim ini, sejatinya kerjasama itu bakal berlangsung selama 30 tahun dan bisa diperpanjang paling lama 20 tahun. Dalam jangka waktu itu, PT PWU bakal diberi sebanyak 100 unit dari 300-an unit The Frontage untuk dikelola.
Menurut Erlangga, 100 unit yang diberikan ke PT PWU itu sedianya bakal dikelola termasuk disewakan.
“Namun, hal itu urung terwujud lantaran proyek pembangunannya mandeg,” kata Erlangga, sehingga ia melaporkan ke Kejaksaan.
Selain 100 unit, sambung Erlangga, PT PWU juga mestinya medapat Rp9,9 miliar nilai kontrak dari penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari PT TGU. Hanya saja, setelah 30 hari sejak penerbitan, PT TGU tidak kunjung membayar lunas, bahkan hingga hari ini. Dalam perjanjian, disebutkan nilai denda 0,5% per bulan.
Terkait hal itu, Dirut PT TGU Setia Budhijanto membenarkan kalau 100 unit yang bakal diberikan kepada PT PWU untuk dikelola, merupakan bagian dari perjanjian. 100 unit itu akan diserahterimakan kalau The Frontage sudah berdiri dan beroperasi.
Namun untuk Rp9,9 miliar yang mesti dibayar, Budhijanto mengaku belum bisa membayarnya. Hanya saja, jumlah itu pasti dilunasi kalau sudah ada investor yang bersedia membiayai proyek The Frontage.
“Pasti dibayar, dihitung saja nanti termasuk dendanya,” pungkas Budhijanto. (AS)