Jakarta – Pengungkapan kasus ini menghebohkan publik. Seorang narapidana hukuman mati di Lapas Kelas IIA Tarakan, Kalimantan Utara, ternyata menjadi otak di balik sindikat narkoba transnasional yang meraup keuntungan hingga triliunan rupiah.
Hendra Sabarudin alias HS, begitulah identitas napi tersebut. Meski terancam hukuman mati, HS tak kehilangan akal.
Dari balik jeruji besi, ia membangun jaringan bisnis haram yang membentang luas dari Malaysia hingga berbagai wilayah di Indonesia.
Selama tujuh tahun, HS bersama kaki tangannya berhasil menyelundupkan 7 ton sabu-sabu. Keuntungan yang dihasilkan pun fantastis, mencapai Rp2,1 triliun.
Uang hasil kejahatan ini kemudian diinvestasikan dalam berbagai aset seperti tanah, bangunan, kendaraan mewah, hingga kapal laut.
Kabareskrim Polri, Komjen Pol. Wahyu Widada mengatakan penyelidikan awal berdasarkan informasi dari Ditjen Pas adanya narapidana di Lapas Kelas IIA Tarakan yang kerap berbuat onar.
Dari informasi itu, kata Wahyu, Bareskrim lalu melakukan penyelidikan dengan bekerjasama dengan Ditjen Pas, PPATK dan BNN.
Wahyu dalam konferensi persnya menyatakan bahwa kasus ini menunjukkan bahwa kejahatan narkoba semakin kompleks dan melibatkan jaringan yang sangat luas.
“Pelaku tidak hanya beroperasi di luar lapas, tetapi juga dari dalam lapas. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum.” kata Wahyu, dalam konferensi pers di Lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2024).
Modus operandi yang digunakan HS dan kelompoknya terbilang cerdik. Mereka memanfaatkan berbagai celah untuk menjalankan bisnis haram ini.
Keonaran yang kerap dibuat HS di dalam lapas ternyata menjadi kamuflase untuk menutupi aktivitas ilegalnya.
Setelah dilakukan penyelidikan mendalam, polisi berhasil membongkar jaringan ini. Delapan tersangka lainnya yang berperan sebagai kaki tangan HS telah ditangkap.
Mereka memiliki peran masing-masing, mulai dari mengelola keuangan, mengurus aset, hingga melakukan pencucian uang.
Dari hasil penyelidikan, HS masih mengendalikan peredaran narkoba di Indonesia Bagian Tengah khususnya wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Bali dan Jawa Timur,” ujarnya.
Uang dari hasil peredaran narkoba jenis sabu tersebut kemudian disamarkan HS dibantu delapan orang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
Peran delapan tersangka berinisial TR, MA, SY, CA, AZ, NY, RO dan AY adalah mengelola aset dan melakukan pencucian uang.
Wahyu mengungkapkan, berdasarkan analisis dari PPATK, perputaran uang bisnis narkoba sindikat jaringan Malaysia-Indonesia bagian tengah ini selama enam tahun mencapai Rp2,1 Triliun.
“Sebagian uang yang didapatkan dari hasil penjualan narkoba digunakan untuk membeli aset-aset yang sudah bisa kita nilainya Rp221 miliar,” ucapnya.
Sebagai hasil dari operasi pengungkapan ini, polisi berhasil menyita berbagai aset milik para tersangka.
Di antaranya adalah 44 bidang tanah dan bangunan, 21 unit mobil, 28 unit motor, 4 kapal laut. Lalu dua kendaraan jenis ATV, dua jam tangan mewah, uang tunai Rp1,2 miliar dan deposito sebesar Rp500 juta.
Modus HS melakukan TPPU adalah dengan cara menyamarkan melalui tiga tahap.
Pertama penempatan uang HS ditransfer atau setor tunai ke rekening atas nama para tersangka dan orang lain.
Kedua uang tersebut dikirim ke rekening penampung dan kemudian dikirim ke rekening-rekening lain untuk digunakan.
Terakhir, uang milik HS kemudian oleh para tersangka dibelikan atau membelanjakan aset bergerak dan tidak bergerak.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 3, 4, 5, dan 6, juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Ancaman hukuman maksimal yang menanti mereka adalah 20 tahun penjara,” pungkasnya. (Red).