NGERTI sakdurunge pinarak (tau sebelum kejadian). Kalimat ini yang pas buat Mas LaNyalla yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPD RI. Saat masih bebera bulan lalu Mas Nyalla sudah teriak berkali-kali agar pilkada serentak ditunda.
Penundaan ini dengan pertimbangan (bukan ramalan) kondisi penyebaran penyakit virus Corona ini tidak ada tanda-tanda untuk berkurang, apalagi berhenti. Bahkan yang ada penambahan jumlah yang terpapar dan yang meninggal karena covid.
Hanya ada beberapa pengamat dan organisasi kemasyarakatan yang ikut mendukung pernyataan Mas Nyalla. Bahkan yang lain cenderung menganggap (menduga) ada kepentingan politik di dalamnya.
Ada agenda lain dari pernyataan itu. Sementara dari pihak legislatif, eksekutif dan penyelenggara (KPU) tidak menanggapi sama sekali pernyataan yang serius ini. Dianggap angin lalu atau dianggap bunga-bunga dan dinamika politik.
Sekarang apa yang dikhawatirkan dan ditakutkan Mas Nyalla tentang perlunya pilkada serentak ditunda sudah mulai menjadi kenyataan. Nyata didepan kita dan masyarakat. Beberapa calon walikota dan bupati atau wakilnya sudah terkena virus ini, ada yang sembuh tapi ada juga yang meninggal.
Belum lagi kita bicara pelanggaran protokol kesehatan dalam pelaksanaan tahapan pilkada yang tidak pernah ada sanksi. Mulai pertemuan atau kontrak politik antara calon dengan parpol pengusung, juga dengan ormas yang memberikan dukungan, mengalami pelanggaran protokol kesehatan dan dampaknya pasti kepada masyarakat dengan terpaparnya mereka. Dan puncaknya pelanggaran ini dilakukan saat masing-masing parpol dan massa pendukung mendaftarkan pasangan calon ke KPU. Jumlahnya mencapai ribuan dan tidak ada sosial distancing. Ini pelanggaran berat terhadap protokol kesehatan covid.
Pernah saya tanya ke Mas Nyalla kenapa kok kenceng banget untuk melakukan penundaan pilkada serentak, jawabnya sangat sederhana dan lugas.
“Kasihan rakyat kalau ini dipaksakan, karena pandemi ini tidak (belum) ada tanda-tanda untuk selesai. Sementara kita harus mengedepankan keselamatan nyawa rakyat,” jawab Mas Nyalla yang sederhana dan lugas tanpa ada pertimbangan politik apapun, namun hanya pertimbangan kemanusiaan dan ini terkait dengan keselamatan nyawa rakyat Indonesia.
Keselamatan manusia lebih penting dari pada peristiwa politik pemilihan kepala daerah. Kemanusiaan yang ada saat ini adalah saat rakyat dilibatkan untuk peristiwa politik tapi tidak terjamin keselamatannya.
Kemarin dan hari ini kita dikejutkan oleh berita dari sahabat saya, Arief Budiman yang menjadi Ketua KPU RI yang juga terkena positif covid dan pasti harus istirahat untuk penyembuhan. Isolasi mandiri yang dilakukan ini tentu akan mengurangi kegiatannya dalam memantau pelaksanaan pilkada. Tidak hanya itu, dua anggota komisioner yang lain juga terpapar covid.
Karena sesuai dengan kebiasaannya, Mas Nyalla kalau melakukan statemen selalu tanpa beban karena tidak ada deal atau agenda lain. Deal politik dengan hati nurani dan yang pasti bukan pesanan siapapun untuk melakukan pernyataan agar pilkada serentak ditunda.
Kenyataan demi kenyataan dari pernyataan beliau sudah nyata dan nampak didepan mata. Semoga para pengamat dan pelaku politik bisa memahami ini dan harus menggunakan perspektif hati nurani dan humanisme. Bukan dengan perspektif politik dan kekuasaan.
Ini sebuah peringatan bahwa kita tidak boleh gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang terkait dengan keselamatan rakyat.
Apa yang disampaikan Mas Nyalla juga menggunakan perspektif hati nurani. Hati nurani yang selalu di asah dengan kekuatan spiritual dan ditambah jam terbang yang tidak sedikit dalam bersentuhan langsung dengan masyarakat. Jadi bukan dengan cara klenik atau dunia perdukunan. Wallahu a’lam.
Penulis: M. Nabil S.H, (Wakil Ketua KONI JATIM)