SURAKARTA – LaNyalla Mahmud Mattalitti mendapat gelar Kanjeng Pangeran Harya Adipati (KPHA) dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XIII, pada acara Tingalandalem Jumenengan SISKS Pakoe Boewono XIII ke-18 di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Minggu (27/2/2022).
Selain Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti, Kanjeng Susuhunan Pakoe Boewono (PB) XIII juga memberikan gelar KPHA kepada mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Wiranto.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, gelar yang ia dapatkan sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan dan kepeduliannya terhadap pelestarian Keraton dan Kerajaan Nusantara.
Senator asal Jawa Timur itu selalu bersuara lantang mengenai eksistensi Keraton dan Kerajaan Nusantara.
Dia menyebut bahwa Keraton dan Kerajaan Nusantara merupakan pewaris sah Republik ini, dan Kerajaan serta Keraton se-Nusantara memiliki peran dalam kemerdekaan Republik Indonesia.
“Oleh karena sumbangsih dan dukungan konkret Kerajaan Nusantara dalam proses lahirnya NKRI saya menyebut bahwa Kerajaan dan Kesultanan Nusantara adalah salah satu pemegang saham utama negeri ini,” ujar La Nyalla.
LaNyalla meminta pemerintah pusat melalui Kementerian dan Lembaga terkait agar memberikan perhatian yang serius terhadap keberadaan Keraton dan Kesutanan Nusantara salah satunya hal ini Kasunanan Surakarta.
Menurut LaNyalla, Kasunanan Surakarta memiliki kontribusi yang cukup besar bagi kemerdekaan maupun pembangunan Indonesia usai merdeka.
“Kasunanan Surakarta merupakan bagian dari sejarah peradaban bangsa ini, sekaligus sebagai bagian dari sejarah lahirnya bangsa dan negara ini,” ucap LaNyala.
LaNyalla Soroti Nilai Luhur Bangsa
LaNyalla menyembut bahwa, demi menjadi bangsa yang dianggap Demokratis dalam ukuran kaca mata Barat, bangsa ini meninggalkan nilai-nilai luhur yang merupakan Mutiara Nusantara, yakni Pancasila.
“Mengapa saya katakan hal ini? Karena sejak tanggal 13 November 1998, melalui Ketetapan MPR Nomor 18 Tahun 1998, MPR telah mencabut Ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4,” urai LaNyalla.
Saat itu, ungkap LaNyalla, dikatakan, alasan pencabutan Ketetapan MPR tentang P4 itu adalah karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
“Jadi sejak November 1998, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara,” tukas Senator dari Jawa Timur ini.
“Demi apa semua itu dilakukan? Jawabnya demi menjadi bangsa lain. Demi menjadi bangsa yang dianggap Demokratis dalam ukuran kaca mata Barat,” imbuhnya.
Padahal bangsa ini adalah bangsa yang besar. Karena bangsa ini dilahirkan oleh sebuah peradaban yang unggul dan tercatat dalam sejarah dunia. Yaitu peradaban Kerajaan dan Kesultanan Nusantara.
Karena keberadaan Kerajaan Nusantara inilah yang melahirkan Tradisi Pemerintahan, Tradisi Penulisan, Tradisi Pendidikan, Tradisi Pengobatan, hingga Tradisi Kemiliteran, baik di darat maupun di laut. Termasuk mewariskan nilai-nilai adi luhung.
“Dan Indonesia sebagai bangsa yang besar, sudah seharusnya dapat menghargai sejarah peradabannya. Karena hanya bangsa yang besar yang dapat menghargai dan menghormati sejarah peradabannya,” papar LaNyalla.
Dikatakan LaNyalla, benar apa yang dikatakan sejumlah tokoh dunia, bahwa untuk menghancurkan sebuah negara, tidak harus dengan pasukan militer. Tetapi cukup dengan menjauhkan warga bangsa tersebut dengan Ideologi bangsanya.
“Karena ketahanan generasi sebuah bangsa tidak bisa hanya diperkuat dengan Subsidi dan Bantuan Sosial, tetapi harus diperkuat dengan Ideologi bangsanya,” pungkas LaNyalla. (*)