JAKARTA – Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani mengatakan bahwa di masa pandemi Covid-19, perempuan menjadi garda terdepan dalam menghadapi pandemi ini, baik dalam lingkungan terkecil di keluarga maupun dalam lingkup besar di pemerintahan.
Puan mengatakan di beberapa negara, kepemimpinan perempuan berhasil menangani pandemi Covid-19 dengan cepat.
Melalui video conference, Puan berpartisipasi dalam sesi kesatu ‘Taking the management of emergencies to the next level’ menyampaikan, dalam tujuan pembangunan berkelanjutan, tujuan (goals) ke-13 telah tertuang komitmen bersama untuk segera mengambil tindakan dalam mengatasi ancaman bencana terkait perubahan iklim.
“Indonesia sebagai negara yang berada di jalur ring of fire terus mengembangkan diri sebagai negara yang tangguh dalam menghadapi keadaan darurat. Indonesia terus memperkuat upaya pengurangan risiko bencana, senantiasa mempersiapkan diri agar mampu mengatasi bencana secepat mungkin, serta terus membangun kembali masyarakat dan lingkungan yang terkena dampak bencana,” ujar puan dalam siaran persnya, Selasa (18/8/2020).
Dikatakannya, Indonesia meyakini bahwa setidaknya ada satu hal penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan penanganan kedaruratan ke tingkat berikutnya, yaitu dengan bekerja sama, berkolaborasi, atau yang dikenal dengan sebutan Gotong Royong.
Ia menegaskan, kolaborasi dan kerja sama dalam mengelola keadaan darurat yang dilakukan di Indonesia melalui berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola keadaan darurat, berbagi sarana dan prasarana dalam penanggulangan bencana pada tahap darurat, saling mendukung dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang terkena bencana, serta meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kesadaran dalam menghadapi bencana melalui mitigasi, edukasi, dan sosialisasi kepada masyarakat di daerah rawan bencana.
Ditambahkannya, guna menghadapi pandemi Covid-19 yang telah melanda 216 negara di berbagai belahan dunia, perlu lebih banyak perhatian, komitmen, kerja sama, dan kolaborasi, untuk segera mengatasi dampak di bidang kesehatan, serta di bidang ekonomi dan sosial.
Oleh karena itu, dalam forum tersebut, Puan meminta semua pihak untuk memperkuat kerja sama, kolaborasi sebagai wujud dari niat untuk mengangkat penanganan darurat ke tingkat komitmen yang lebih tinggi.
Sebagai pemimpin perempuan, sambungnya, diakui oleh banyak orang memiliki karakteristik atau semangat yang sangat penting dan dibutuhkan dalam mengelola keadaan darurat, seperti empati, kasih sayang, dan ketulusan dalam memberikan dukungan.
“Untuk itu Ketua Parlemen Perempuan dapat menularkan semua semangat tersebut kepada lebih banyak pemangku kepentingan, sehingga bersama-sama memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih besar dalam melindungi kehidupan masyarakat dari ancaman bencana di seluruh dunia,” kata politisi Fraksi PDI Perjuangan itu.
Seperti diketahui, Inter-Parliamentary Union (IPU) bekerja sama dengan Parlemen Austria menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ketua Parlemen Perempuan Dunia ke-13 secara virtual pada tanggal 17-18 Agustus 2020 sebagai platform guna mengumpulkan para pemimpin perempuan untuk saling berbagi pengalaman dan sharing knowledge terkait Covid-19 dan dampaknya, dalam menjawab tantangan besar yang akan dihadapi di masa depan.
KTT tersebut dihadiri oleh 32 Ketua dan Wakil Ketua Parlemen Perempuan Dunia.
Pasca Beijing Platform For Action (BPFA) yang diluncurkan pada tahun 1995 mengenai kesepakatan untuk mengadopsi konvensi Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women (CEDAW) di mana seluruh negara anggota PBB sepakat untuk mengadopsi BPFA menjadi resolusi dan merekomendasikan Majelis Umum dalam sesi kelima untuk mengesahkan BPFA, tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan.
Saat ini persentase perempuan anggota parlemen di seluruh dunia hanya tumbuh dari 11 persen menjadi hanya sekitar 25 persen dalam 25 tahun. Ketua parlemen perempuan kurang dari 20 persen dari semua Ketua Parlemen di dunia. Kepala negara maupun kepala pemerintahan daerah perempuan hanya 5-6 persen dari pemimpin global.
President IPU, Gabriela Cuevas Baron dalam sambutannya pada Pembukaan KTT Ketua Parlemen Perempuan ke-13 menyampaikan, kemajuan bertahap memang bagus, tetapi tidak cukup. Mengingat ada isu-isu yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional, maka ketimpangan yang sangat besar dalam pengambilan keputusan politik tidak dapat bertahan lama.
Pada kesempatan tersebut, Gabriela mengajak para Ketua Parlemen Perempuan untuk berkomitmen mengambil setidaknya lima langkah konkret untuk melalukan perubahan dan perbaikan atas ketidaksetaraaan jenderl yang masih terjadi kepada perempuan yaitu pertama, menghapus semua bentuk diskriminasi dalam undang-undang dengan mengidentifikasi dan mencabut atau mengubah undang-undang yang diskriminatif, dengan memperkenalkan undang-undang baru jika perlu dan mengawasi pelaksanaan undang-undang yang responsif gender.
Kedua, mendukung perempuan lain yang memasuki politik dan mengejar karir politik dengan mempromosikan kuota dan paritas dalam politik, dengan mendampingi dan memberdayakan calon dan calon perempuan, dan dengan menjaga semua proses politik dari kekerasan terhadap perempuan, 50 : 50 di negara Anda, 50 : 50 di dunia.
Ketiga, mengakhiri semua kekerasan terhadap perempuan di semua aspek masyarakat, termasuk di tingkat pemerintah dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial.
Keempat, ubah parlemen menjadi lembaga yang peka gender di mana tidak ada hambatan bagi partisipasi penuh perempuan, di mana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dihormati dan di mana hasil yang responsif gender dipromosikan. Dan kelima, meningkatkan investasi keuangan dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan.
Sesi kesatu KTT Ketua Parlemen Perempuan tersebut dimoderatori oleh Ketua Parlemen Bahrain, Fawzia Zainal dengan Pembicara yaitu Former President World Wildlife Fund International Yolanda Kakabadse, dan juga menampilkan statemen dari Ketua-ketua Parlemen seperti dari Swiss, Vietnam, Andora. Senate Mexico, Austria dan Pesan Video dari Ketua Parlemen Jepang. (dep/es)