SURABAYA – Sidang lanjutan kasus Jalan Gubeng ambles kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (28/10/2019). Kali ini, dua saksi dihadirkan oleh pihak JPU, yakni Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Eri Cahyadi, dan Kepala Bidang Tata Bangunan Pemkot Surabaya Lasidi.
Eri Cahyadi dicecar hakim dalam persidangan amblesnya Jalan Gubeng. Eri diperiksa kapasitasnya sebagai mantan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Pemerintah Kota Surabaya yang membawahi perizinan.
Dalam kesaksiannya Eri menyampaikan hanya melakukan pengawasan bangunan dengan kecocokan IMB yang dikeluarkan. Di luar itu bukan kewenangannya melainkan tanggung jawab dari pihak bidang pekerja.
“Kami hanya berwenang mengurusi perizinan,” ujarnya.
Syarat yang diajukan oleh pemohon, jelas dia juga sudah lengkap. “Sudah lengkap semua, amdalnya ada, dan juga sudah masuk ke aplikasi,” ujar pria yang disebut santer maju dalam Pilwali Surabaya 2020 mendatang ini.
Eri saat itu menyatakan bahwa kesalahan perencanaan pembangunan pengembangan Rumah Sakit Siloam Surabaya, yang menyebabkan Jalan Raya Gubeng ambles pada 18 Desember 2018, bukan menjadi kewenangannya
Eri juga menjelaskan bahwa izin mendirikan bangunan (IMB) proyek tersebut ditandatangani atas persetujuan dari Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) Pemkot Surabaya.
“Orang-orang yang tergabung dalam TABG ini adalah para ahli profesional yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Wali Kota Surabaya. TABG menyetujui menerbitkan IMB setelah meneliti dokumen atau berkas-berkas perencanaan proyek seperti yang diajukan oleh pemohon,” jelas Eri seakan melempar bola panas.
Eri juga menyebut jika kawasan Jalan Gubeng merupakan wilayah yang digunakan untuk perdagangan jasa. Seperti mal, rumah sakit serta usaha lainnya.
Eri kembali ditanya terkait siapa yang membiayai perbaikan jalan yang longsor. Namun, ia mengaku tak mengetahuinya lantaran perbaikan jalan berhubungan dengan Balai Besar Jalan Nasional (BBJN).
Sementara itu, adanya fakta hukum di persidangan Pengadilan Negeri Surabaya itu mendapat komentar dari pengamat hukum I Wayan Titip. Menurut Wayan memang sudah bukan rahasia umum lagi bahwa dalam urusan perizinan banyak kepentingan pemberi izin.
“Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah? Pada tahap ini sudah lazim terjadi gratifikasi, pemerasan oleh pemberi izin. Semisal pungli, untuk itulah kenapa dinas perijinan menjadi lahan basah bagi ASN,” ungkap Wayan kepada Wartawan.
Dia menambahkan jika belum terungkap maka biasanya yang terjadi adem ayem dan saling melindungi. Namun, jika sudah terendus yang terjadi biasanya saling lempar kesalahan kepada pihak lain.
“Itu kharakteristik pejabat ASN. Makanya dalam keseharian kondisi ASN di bagian perizinan jauh lebih makmur dari ASN di dinas lain,” imbuh pria yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini. (ST/Red)