JAKARTA – Komisi III DPR RI mendesak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar mengoptimalkan fungsi kontra radikalisasi dan deradikalisasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Pernyataan tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir saat rapat kerja dengan Kepala BNPT Suhardi Alius.
“Komisi III DPR RI medesak Kepala BNPT untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga terkait untuk mengoptimalkan fungsi kontra radikalisasi dan deradikalisasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme,” papar Adies di ruang rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Selain itu yang tak kalah penting, Komisi III DPR RI juga mendesak Kepala BNPT agar mengoptimalkan fungsi pencegahan penanggulangan terorisme.
BNPT disarankan dengan sangat agar melakukan langkah-langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian sebagai upaya untuk mencegah paham radikal-terorisme.
Terkait dengan perlakuan terhadap narapidana terorisme, Komisi III DPR RI mendesak Kepala BNPT agar melakukan kerjasama yang lebih konkrit dengan Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di Lapas terhadap narapidana terorisme.
Dalam raker tersebut Komisi III DPR RI juga memberikan perhatian terhadap maraknya aksi radikal-terorisme melalui media sosial (medsos).
Menurut Komisi III, medsos dikapitalisasi sebagai alat yang paling mudah dipergunakan oleh kelompok-kelompok teror, oleh sebab itu Komisi III medesak Kepala BNPT untuk melakukan langkah-langkah antisipatif, melalui kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk dapat menelusuri dan mengungkap aksi teror melalui media sosial.
Kepala BNPT dalam rapat menggaris-bawahi bahwa terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, yang kemudian disetujui oleh Anggota Komisi III Fraksi PKS, Nasir Djamil.
“Tentu saja kita Komisi III harus menilai sebagai fungsi pengawasan. BNPT sebagai organ negara penunjang harapannya bisa membantu negara dalam menghadapi masalah terorisme. Mudah-mudah kehadiran BNPT bisa membantu negara untuk mengatasi kelompok-kelompok teroris di Indonesia, sekali lagi terorisme itu motifnya ideologi politik, tidak ada agama. Agama dijadikan sarana saja oleh mereka, tidak kita benarkan agama dibawa-bawa sebagai pembenaran,” ungkap Nasir Djamil.
Penjelasan mengenai upaya menjalin sinergi dengan Kementerian dan Lembaga lain melalui program Sinergisitas 36 K/L kemudian diterangkan oleh Kepala BNPT, dimana Pemerintah Daerah juga harus mengambil peran untuk berkontribusi.
“Sejak Juli 2016, BNPT telah menyerahkan kepada Kemendagri daftar mantan teroris, kami serahkan juga kepada Gubernur dan Kepala Daerah hingga mereka tahu persis bahwa ada mantan teroris yang harus dibina bukan dimarjinalkan. Karena sarana kontak seperti aspek ekonomi, pendidikan semua ada di Pemda. Sehingga Pemerintah Daerah terlibat secara signifikan, hingga RT-RW pun harus berperan,” ujar Kepala BNPT.
Sebagai kesimpulan dari rapat dengar pendapat kali ini, para anggota dewan-pun sepakat mendorong BNPT untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga lain terkait fungsi kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi sesuai Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar lebih optimal lagi kedepannya.
Sementara itu, dalam menghadapi fenomena terorisme baru yaitu penyebaran paham radikal negatif yang berpotensi dapat terjadi di Lapas oleh para napiter, BNPT akan menindaklanjuti untuk melakukan kerja sama yang lebih konkrit dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.
Kaitannya dengan maraknya perekrutan kelompok maupun organisasi teroris yang marak di temukan menggunakan media sosial, BNPT akan melakukan langkah-langkah antisipatif yang lebih intensif bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I. untuk menelusuri dan mengungkap aksi teror yang beredar di dunia maya.
Dia menyampaikan bahwa alih-alih memusatkan pemberitaan mengenai angka paparan radikalisme yang terjadi di perguruan tinggi, ASN, TNI/Polri maupun institusi pemerintah lainnya yang dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, para jurnalis justru diimbau untuk ikut serta menyebarkan pesan positif kepada masyarakat luas tentang bahaya radikalisme negatif dan terorisme khususnya anak muda karena secara psikologis rentan terpapar paham radikalisme negatif.
“Jangan underestimate, ini masalah mindset. Yang kita bisa lakukan adalah mereduksi sehingga memiliki prinsip kebangsaan, ini yang harus kita jaga. Kita harus ikut berikan pencerahan, hati-hati dan waspada, sekali lagi jangan underestimate. Kita bisa mengingatkan masyarakat khususnya anak muda yang menjadi target brainwashing karena masih labil,” tutup Komjen Pol. Suhardi Alius. (Eko/AMP)